Laporan Pembangunan Nasional pada Masa Orde Baru

PEMBANGUNAN NASIONAL PADA MASA ORDE BARU


1.   PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
  Setelah kekuasaan Orde Lama berakhir, Indonesia memasuki  masa Pemerintahan Orde Baru. Pengertian Orde Baru adalah suatu tatanan Seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.  Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Orde Baru hadir dengan semangat koreksi total atas penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama. Pemerintah Orde Baru dipimpin presiden Soeharto sejak tahun 1967 sampai pada tahun 1998. Presiden Soeharto menerapkan  kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk mewujudkan pembangunan nasional. Melalui kebijakan politik dan ekonomi, peran negara secara significan tampak
nyata baik dalam kehidupan masyarakat dalam negeri maupun internasional.
Tujuan Pembangunan Nasional pada masa orde baru adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur, material dan spiritual berdasarkan pada pancasila dan UUD 1945. Landasan idiil (pancasila), landasan konstitusinil (UUD 1945), dan landasan Operasional (GBHN). Arah kebijakan ekonomi diarahkan pada pembangunan segala bidang. Pelaksanaan Pembangunan Orde Baru bertumpu pada program Trilogi Pembangunan

1.2 Rumusan Masalah
1)    Bagaimana perencanaan pembangunan nasional pada masa orde baru?
2)   Bagaimana pelaksanaan pembangunan nasional pada masa orde baru?
3)   Apasajakah hasil pembangunan nasional pada masa orde baru?
4)   Apasajakah tantangan-tantangan dalam pembangunan nasional?

1.3 Tujuan
1)    Menjelaskan rencana pembangunan nasional pada masa orde baru.
2)   Menjelaskan pelaksanaan pemnangunan nasional pada masa orde baru.
3)   Menjelaskan hasil pembangunan nasional pada masa orde baru.
4)   Menjelaskan tantangan-tantangan dalam pembangunan nasional.


2.  PEMBAHASAN
2.1 Perencanaan Pembangunan
Instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak bergulirnya bola reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945, demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah (UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004 dan UU Nomor 33/2004), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, penguatan prinsip-prinsip Good Governance : transparansi, akuntabilitas, partisipasi, bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu dokumen perencanaan pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan gelombang globalisasi (AFTA, WTO, dsb) dan perubahan peta geopolitik dunia pasca tragedi 11 September 2001.
Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi.
Pembangunan Nasional pada masa
Orde Baru berpedoman pada TRILOGI PEMBANGUNAN dan DELAPAN JALUR PEMERATAAN.

Trilogi Pembangunan terdiri dari :
a)  Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
c)  Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

2.2 Pelaksanaan Pembangunan
Sejak Oktober 1966 pemerintah Orde Baru melakukan penataan kembali kehidupan bangsa di segala bidang, meletakkan dasar-dasar untuk kehidupan nasional yang konstitusional, demokratis dan berdasarkan hukum. Di bidang ekonomi, upaya perbaikan dimulai dengan program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Program ini dilaksanakan dengan skala prioritas:
a)  Pengendalian inflasi.
b) Pencukupan kebutuhan pangan.
c)  Rehabilitasi prasarana ekonomi.
d)  Peningkatan ekspor.
e)  Kebutuhan sandang.
Pada permulaan orde baru, program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pembangunan dilaksanakan dalam 2 tahap, yaitu:
a)  Jangka panjang : jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun.
b) Jangka pendek. : jangka pendek mancakup periode 5 tahun yang terkenal dengan sebutan “repelita” ( Rencana Pembangunan Lima Tahun )
Repelita yang dimaksud adalah :
• Repelita I (1 April 69 – 31 Maret 74) : Menekankan pada pembangunan bidang pertanian.
• Repelita II (1 April 74– 31 Maret 79) : Tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
• Repelita III (1 April 79 – 31 Maret 84) : Menekankan pada Trilogi Pembangunan.
• Repelita IV (1 April 84 – 31 Maret 89) : Menitik beratkan sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri.
• Repelita V ( 1 April 89 – 31 Maret 94) : Menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri.
• Repelita VI (1 April 94 31 Maret 1999) : Masih menitikberatkan pembangunan pada sektor bidang ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.

2.3  Hasil Pembangunan
2.3.1 Bidang Ekonomi
Dengan meningkatnya investasi dan pengeluaran konsumsi secara tajam dalam dua tahun terakhir, defisit transaksi berjalan meningkat. Defisit transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,5 miliar pada tahun 1994/95 atau 2,0 persen dari PDB dan US$ 6,9 miliar pada tahun 1995/96 atau 3,4 persen dari PDB terutama didorong oleh penanaman modal (asing) langsung. Upaya untuk mengendalikan
terus dilakukan, agar defisit tersebut tetap dalam batas-batas yang aman.
Laju inflasi meskipun dapat dipertahankan “single digit”, selama dua tahun Repelita VI masih di atas rata-rata target Repelita VI (5 persen) yaitu sebesar 9,2 persen dan 8,4 persen dalam tahun 1994 dan 1995. Dalam tahun 1996 ini diharapkan laju inflasi dapat ditekan lagi sehingga tidak lebih dari 7 persen.
2.3.2 Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pendidikan
Pembangunan nasional tidak saja menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, tetapi juga menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin meningkat dan makin merata. Kebutuhan pokok rakyat telah tersedia secara meluas dengan harga yang mantap dan dalam jangkauan rakyat banyak. Dalam PJP I kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan yang sangat berarti. Pada awal PJP I, angka harapan hidup baru mencapai rata-rata 45,7 tahun dan telah meningkat menjadi 63,5 tahun pada tahun 1995/96. Dalam periode yang sama, angka kematian bayi telah menurun dari 145 menjadi 55 per seribu kelahiran hidup.
Peningkatan kesejahteraan rakyat ditunjukkan pula oleh meningkatnya ketersediaan jumlah kalori makanan yang tersedia bagi penduduk Indonesia dari 2.035 kilokalori dalam tahun 1968 menjadi 3.055 kilokalori per kapita per hari pada tahun 1995. Penyediaan protein juga mengalami peningkatan yaitu dari 43,0 gram per kapita per hari pada tahun 1968 menjadi 69,2 gram per kapita per hari pada tahun 1995. Kedua indikator tersebut telah melampaui sasaran Repelita VI yang sebesar 2.150 kilokalori dan 46,2 gram per kapita per hari. Peningkatan rata-rata kalori dan protein ini juga mencerminkan peningkatan pendapatan rakyat banyak serta pemerataan pembangunan. Keberhasilan di bidang pangan yang antara lain tercermin dari tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 dan diakui oleh FAO pada tahun 1985, telah meningkatkan kemampuan dalam penyediaan pangan bagi penduduk Indonesia dan memperkuat ketahanan pangan nasional. Swasembada pangan ini akan terus dipertahankan secara dinamis didukung oleh upaya diversifikasi pangan. Pada awal PJP I sampai dengan tahun kedua Repelita VI, ketersediaan beras per kapita per tahun meningkat dari 96,5 kg menjadi 150,9 kg; daging dari 2,7 kg menjadi 8,1 kg; telur dari 0,2 kg menjadi 3,3 kg; ikan dari 8,9 kg menjadi 19,4 kg.
Program wajib belajar enam tahun yang dicanangkan sejak tahun 1984 telah mencapai sasarannya sebelum PJP I berakhir. Angka partisipasi kasar (APK) pada tingkat sekolah dasar meningkat dari 68,7 persen pada awal PJP I menjadi 111,9 persen pada tahun 1995/96; dari 16,9 persen menjadi 60,8 persen pada tingkat sekolah lanjutan pertama; dari 8,6 persen menjadi 35,9 persen untuk tingkat sekolah lanjutan atas; dan dari 1,6 persen menjadi 11,4 persen untuk tingkat pendidikan tinggi. Keberhasilan program-program pendidikan ini juga ditunjukkan dengan menurunnya jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta aksara dari 39,1 persen pada tahun 1971 menjadi 12,7 persen pada tahun 1995. Hasil pendidikan ini bukan sekedar statistik. Peningkatan pendidikan akan meningkatkan pendapatan, apresiasi terhadap sekitarnya, kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah, serta membangun kualitas kehidupan bagi generasi berikutnya. Dewasa ini kita sedang memetik hasil dari pendidikan dalam PJP I, sambil menyiapkan pendidikan untuk generasi yang akan
datang.
Meningkatnya derajat pendidikan dan juga kesehatan mempunyai dampak terhadap peningkatan kualitas peranan wanita dalam pembangunan. Derajat pendidikan wanita dari tahun ke tahun terus meningkat yang ditunjukkan oleh makin banyaknya wanita yang menempuh pendidikan pada setiap jenjang pendidikan. Pada tingkat SD jumlah murid wanita sudah hampir sama dengan
murid laki-laki dengan rasio lebih dari 0.90. Pada tingkat SLTP, SLTA, dan PT rasio tersebut telah
mencapai berturut-turut 0,89, 0,84, dan 0,63, dan terus meningkat. Demikian pula halnya dalam bidang kesehatan, mis alnya angka harapan hidup (AHH) wanita bahkan lebih tinggi dari AHH lakilaki, yaitu sebesar 65,3 tahhun pada tahun 1995/96 sedangkan AHH laki-laki yaitu sebesar 61,5
tahun.
2.3.3 Bidang Agama
Agama mempunyai peran yang sangat penting terhadap pembentukan moral manusia Indonesia sebagai dasar membentuk manusia yang berkualitas. Oleh sebab itu, dukungan prasarana dan sarana peribadatan yang memadai memang diperlukan dalam upaya menjalankan kehidupan ibadah yang tenteram dan damai. Sejak awal PJP I sampai dengan tahun 1995/96 telah dibangun mesjid, gereja Kristen Protestan, gereja Katolik, Pura, dan Wihara oleh berbagai kalangan baik pemerintah maupun masyarakat masing- masing sebanyak 600,3 ribu mesjid, 31 ribu gereja Protestan, 14 ribu gereja Katolik, 23,7 ribu Pura dan 4 ribu Wihara.
Walaupun sekali waktu dapatg timbul ketegangan, namun secara umum dapat dikatakan bahwa selama ini telah berhasil diciptakan suasana kehidupan antaragama yang rukun sehingga para pemeluk agama dapat menjalankan ibadahnya dengan tenteram, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

2.3.4 Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu dasar utama untuk meningkatkan produktivitas. Berbagai upaya peningkatan teknologi terutama di bidang pertanian dan kesehatan telah membuahkan hasil selama PJP I dan dua tahun pertama Repelita VI telah membuahkan hasil. Keberhasilan lain yang dapat dicatat adalah meningkatnya kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam industri manufaktur, mulai dari industri dengan teknologi sederhana sampai industri canggih seperti pesawat terbang.
2.3.5 Bidang Hukum
Hukum merupakan dasar untuk menegakkan nilai-nilai kemanusian. Berbagai perbaikan di bidang hukum telah dilakukan dan diarahkan menurut petunjuk UUD 1945. Dalam kaitan ini, antara lain telah ditetapkan Un dang-undang tentang KUHAP, Undang-undang tentang Hak Cipta, Paten, dan
Merek, kompilasi hukum Islam, dan lain-lain.
Agar hukum dapat dijalankan berdasarkan peraturan- peraturan yang berla ku, telah pula dilakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat luas maupun kepada aparat pemerintah. Perbaikan aparatur hukum terus menerus dilakukan meskipun belum mencapai hasil yang
optimal, dan belum sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan keadilan masyarakat.
2.3.6 Bidang Politik, Aparatur Negara, Penerangan, dan Komunikasi
Pembangunan politik selama PJP I dan dua tahun Repelita VI telah dapat mewujudkan tingkat stabilitas nasional yang mantap dan dinamis sehingga memungkinkan pelaksanaan pembangunan nasional yang menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin baik. Pembangunan politik juga telah mendorong terciptanya iklim keterbukaan yang bertanggung jawab serta makin mantapnya pelaksanaan demokrasi Pancasila. Hal ini terutama dengan telah adanya pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila serta telah diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azas berbangsa dan bernegara oleh seluruh organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan. Selain itu, perlu dicatat pula perampingan organisasi peserta pemilu dari 10 peserta pada pemilu tahun 1971 menjadi 3 peserta.
Dalam hubungannya dengan politik luar negeri, Indonesia telah memainkan peranan yang cukup penting dalam upaya menciptakan perdamaian dunia. Antara lain patut dicatat peranan Indonesia di PBB, ASEAN, Gerakan Non Blok, dan APEC. Dalam upaya menciptakan efisiensi dan efektivitas pembangunan, kualitas dan kuantitas aparatur negara terus ditingkatkan. Dalam kaitan ini juga dilakukan penataan organisasi Departemen dan lembaga Non Departemen. Peningkatan kemampuan kegiatan penerangan, komunikasi, dan media massa (TV, radio, majalah, dan surat kabar) telah meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan bangsa.
2.3.7 Bidang Pertahanan Keamanan
Stabilitas keamanan di dalam negeri merupakan tulang punggung upaya pembangunan nasional. Dalam hal ini manunggalnya ABRI dengan rakyat dan mantapnya dwi fungsi ABRI merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan selama PJP I sampai pertengahan pelaksanaan Repelita VI sekarang ini. Pembangunan pertahanan keamanan terus dilakukan sesuai dengan Sishankamrata, dan dengan terus memperkuat kemampuan ABRI dalam melaksanakan kedua fungsinya.

2.4   Tantangan-Tantangan Pembangunan
Untuk mencapai sasaran pembangunan dan wujud masa depan bangsa Indonesia dalam PJP II dan Repelita VII seperti pokok-pokoknya diuraikan di atas bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak tantangan pembangunan harus dihadapi bangsa Indonesia. Tantangan-tantangan tersebut dapat berasal dari luar atau dari dalam dan dapat bersumber dari faktor ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Dalam Repelita VII mendatang, Indonesia akan memasuki abad ke-21 dimana globalisasi dan
proses perubahan akan berlangsung sangat cepat. Dalam era tersebut persaingan antarbangsa akan menjadi makin ketat sehingga peningkatan daya saing merupakan suatu keharusan. Persiapan sejak dini perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Segala modal yang telah dimiliki, tantangan, peluang, dan kendala harus dapat diidentifikasi secara cermat dan terperinci sehingga strategi dan langkah-langkah kebijaksanaan yang harus dilakukan akan dapat dirumuskan
sebaik-baiknya. A
dapun tantangan-tantangan tersebut antara lain:
2.4.1 Bidang Ekonomi Sehubungan dengan Proses Globalisasi.
Kurun waktu Repelita VII akan bersamaan dengan diberlakukannya kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) pada tahun 2003. Pada tahun 2020, dua tahun setelah berakhirnya PJP II, Kawasan Bebas Perdagangan Asia Pasifik juga akan berlaku. Ekonomi Indonesia akan makin terintegrasi ke dalam ekonomi ASEAN dan Asia Pasifik dalam jangka panjang. Dengan ditiadakannya perlindungan oleh setiap negara, persaingan dalam kawasan ini akan makin keras. Untuk itu efisiensi ekonomi dan produktivitas tenaga kerja perlu ditingkatkan. Terlebih lagi karena persaingan yang akan terjadi terutama adalah antarunit produksi. Untuk meningkatkan efisiensi perekonomian nasional, perlu dilanjutkan upaya deregulasi dan debirokratisasi dalam rangka penyempurnaan lembaga-lembaga ekonomi kita. Dalam kaitan ini, berbagai pungutan yang tidak mempunyai dasar jelas dan akan meningkatkan biaya ekonomi harus ditiadakan.
Produktivitas tenaga kerja sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Pada saat ini kualitas SDM yang kita miliki masih berada di bawah negara-negara tetangga yang telah lebih dulu maju. Dengan demikian upaya mengejar ketertinggalan dalam pengembangan sumber daya manusia juga merupakan tantangan agar dapat menciptakan manusia yang produktif dan berdaya saing tinggi.
2.4.2 Pengangguran dan Lapangan Kerja.
Masalah pengangguran dan masalah penyediaan lapangan kerja tetap akan dihadapi dalam kurun pembangunan yang akan datang dengan permasalahan yang lebih kompleks dibandingkan dengan Repelita-repelita sebelumnya. Walaupun laju pertumbuhan penduduk Indonesia sudah menurun, namun karena penduduknya besar maka secara absolut tambahan penduduk setiap tahunnya masih besar dan ini akan berpengaruh terhadap jumlah angkatan kerja. Misalnya dalam tahun 1995 jumlah pengangguran terbuka telah meningkat menjadi 5,9 juta orang atau 7,0 persen dari angkatan kerja, dari 2,3 juta atau 3,2 persen pada tahun 1990, walaupun pertumbuhan penduduk menurun dari 1,66 persen pada tahun 1990 menjadi 1,60 persen pada tahun 1995. Sedangkan pengangguran terselubung pada periode 1990 – 1995 diperkirakan sekitar 36 persen dari angkatan kerja.
Sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, maka harapan tenaga kerja terhadap pekerjaan yang diinginkan akan semakin tinggi. Ini mendorong angkatan kerja untuk menunggu jenis pekerjaan yang sesuai dengan taraf pendidikannya dan secara absolut ini akan mendorong meningkatnya pengangguran bagi angkatan kerja yang berpendidikan baik SLTA maupun Universitas. Pada tahun 1990, jumlah pengangguran yang termasuk dalam kelompok ini adalah sebesar 117,4 ribu orang dan meningkat menjadi 404,6 ribu orang pada tahun 1995 atau dari 5,01 persen menjadi 6,85 persen dari pencari kerja. Selain itu, transformasi ekonomi akan mengakibatkan terjadinya pergeseran angkatan kerja dari sektor yang mempunyai upah yang rendah ke sektor yang mempunyai upah yang lebih tinggi. Salah satu akibatnya adalah adanya urbanisasi yang semakin besar dari angkatan kerja yang ada di perdesaan ke kota-kota besar. Berarti akan ada tantangan untuk penataan wilayah perkotaan, baik secara fisik maupun dari segi ekonomi dan sosial.
2.4.3 Masalah Kemiskinan.
Meskipun jumlahnya terus berkurang, namun laju penurunan penduduk miskin semakin rendah dan lokasinya makin terpusat pada kantung-kantung kemiskinan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan secara
mendasar masih merupakan tantangan yang harus dipecahkan. Masalah kemiskinan ini kita harapkan
sudah dapat dituntaskan dalam Repelita VII.
Dalam Repelita VII, bangsa Indonesia sudah memasuki jaman dunia baru yang ditandai
dengan keterbukaan dan persaingan yang peluangnya belum tentu dapat dimanfaatkan dengan baik oleh golongan ekonomi lemah. Dalam keadaan demikian, besar sekali kemungkinan makin melebarnya kesenjangan. Oleh karena itu, apabila untuk menegakkan prinsip-prinsip ekonomi pasar dan menggerakkan kegiatan ekonomi diperlukan deregulasi, maka untuk mengatasi kesenjangan
diperlukan intervensi, yakni melindungi dan memberikan kesempatan bagi yang lemah untuk tumbuh. Erat kaitannya dengan masalah kesenjangan adalah masalah kesempatan berusaha. Kegiatan usaha di Indonesia sebagian besar didominasi oleh pengusaha besar yang jumlahnya sedikit dengan asset yang besar, sedangkan pengusaha kecil yang jumlahnya sangat besar hanya memiliki asset
dalam jumlah yang kecil.
Sementara itu, lapisan pengusaha menengah belum berkembang secara
sehat dan mantap (Data BPS: dalam tahun 1993, jumlah industri kecil yaitu dengan jumlah tenaga kerja di bawah 20 orang sebanyak 2,5 juta pengusaha atau 99,27 persen dengan nilai tambah bruto sekitar Rp 4,0 triliun atau 7,48 persen. Sedangkan industri besar dan sedang berjumlah 18,2 ribu
pengusaha atau 0,73 persen dengan nilai tambah bruto sebesar Rp 49,8 triliun atau 92,52 persen dari
total nilai tambah bruto).
Struktur dunia usaha yang demikian tidak kukuh, di samping tidak mencerminkan cita-cita demokrasi ekonomi seperti yang diamanatkan oleh konstitusi. Oleh karena itu sejalan dengan upaya deregulasi dan terbukanya pasar secara luas, harus dikembangkan langkah-langkah membangun
usaha menengah dan kecil termasuk koperasi sehingga menjadi kuat. Dalam rangka itu, kemitraan
perlu terus ditingkatkan dan diupayakan agar menjadi pola dalam kehidupan ekonomi kita. Mewujudkan hal ini merupakan tantangan yang tidak mudah, tetapi mutlak harus dilakukan. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan akan sulit untuk dicapai tanpa dukungan stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Hal-hal yang dengan susah payah dibangun
melalui pertumbuhan dan pemerataan dapat dengan mudah hancur karena gangguan stabilitas.
Dalam rangka stabilitas nasional salah satu sisinya adalah stabilitas ekonomi makro. Laju inflasi harus senantiasa diusahakan cukup rendah dan neraca pembayaran harus terpelihara dengan aman. Oleh karena itu, memelihara stabilitas ekonomi tetap merupakan tantangan pembangunan di
masa depan.
Erat kaitannya dengan stabilitas ekonomi adalah stabilitas politik. Dalam Repelita VII, suasana kehidupan politik nasional akan semakin diwarnai oleh upaya untuk lebih meningkatkan kualitas berdemokrasi, iklim keterbukaan, partisipasi kearah perbaikan dan pembaharuan, serta kesadaran akan kemajemukan. Dengan demikian menjaga stabilitas politik merupakan pekerjaan yang rumit dan memerlukan pendekatan-pendekatan yang “canggih”. Oleh karena itu, merupakan tantangan pula untuk tetap memelihara persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa, mengembangkan dan memantapkan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diselenggarakan secara sehat, dinamis, kreatif, dan efektif.


3.   PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut perlu dipikirkan langkah-langkah yang harus diambil di masa depan, atau dengan kata lain diperlukan suatu agenda pembangunan. Tantangan globalisasi adalah tantangan utama dalam Repelita VII. Untuk itu dalam bidang ekonomi perlu terus diupayakan penyerasian strategi ekonomi Indonesia dengan keadaan yang sedang berkembang agar bangsa Indonesia diuntungkan. Kuncinya dari segi ekonomi tidak lain
adalah membangun daya saing dan memeliharanya agar berkesinambungan.
Daya saing tidak dapat lagi semata-mata ditentukan oleh upah buruh yang rendah dan
sumber daya alam yang berlebih akan tetapi lebih ditentukan oleh penguasaan informasi, teknologi, dan keahlian manajerial. Ini berarti peningkatan kualitas sumber daya manusia harus diprioritaskan dan ini terkait dengan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kesemuanya akan bermuara pada peningkatan produktivitas tenaga kerja.
3.2 Saran
Sehubungan dengan peningkatan peningkatan pembangunan nasional, segenap kekuatan dan sumber daya yang dimiliki oleh negara harus ditujukan kearah membangun pertumbuhan yang serasi dengan pemerataan dan keadilan.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi baik makro, sektoral, maupun regional harus secara terpadu mengupayakan agar ekonomi usaha skala kecil dapat secepatnya bangkit dan menjadi kukuh dan mantap.
Sumber : andrietha

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Membuat Quotes dengan HP Android

Review State Of Play : Penyebab Pembunuhan Hingga Hubungan Gelap